pustakawangresik’s Blog

berbuat dengan buku

Gerakan 10 Menit Membaca Diluncurkan Pelajar Yogyakarta 7 Mei 2012

membaca di perpustakaanRatusan pelajar Yogyakarta yang mengikuti Festival Pelajar ‘Dari Jogja untuk Indonesia’ meluncurkan gerakan 10 menit membaca bertempat di Plaza Monumen Serangan Oemoem 1 Maret, Ahad (6/5).

“Melalui gerakan ini, kami ingin mengajak pelajar dan masyarakat untuk bisa melakukan kebiasaan baik, dengan membaca setidaknya 10 menit sebelum beraktivitas,” kata Koordinator Seksi Acara Festival Pelajar Salma Karima di Yogyakarta.

Peluncuran gerakan 10 Menit Membaca tersebut ditandai dengan pelaksanaan pawai yang diikuti sekitar 300 siswa berbagai sekolah menengah atas dan sederajat di Kota Yogyakarta.

Ratusan pelajar tersebut berjalan kaki dari Monumen Plaza Serangan Oemoem 1 Maret menuju simpang empat Jalan Senopati, Jalan Mataram, Jalan Malioboro, Jalan Ahmad Yani, dan berakhir kembali di Monumen Serangan Oemoem 1 Maret. Pelajar-pelajar itu membawa panji-panji asal sekolah masing-masing.

“Melalui pawai ini, kami ingin mengenalkan gerakan 10 menit membaca ke masyarakat. Gerakan ini memiliki manfaat yang baik karena membaca bisa menambah pengetahuan,” katanya.

Setelah melakukan pawai, pelajar yang masing-masing sudah membawa buku tersebut kemudian membaca buku yang dibawanya sebagai penanda bahwa gerakan itu telah resmi diluncurkan. Salma berharap kegiatan tersebut dapat menjadi kebiasaan dari pelajar-pelajar di Kota Yogyakarta yang didukung penuh oleh pemerintah daerah.

“Akan kami usulkan agar gerakan ini bisa dilakukan oleh setiap sekolah di Kota Yogyakarta. Oleh karena itu, diperlukan dukungan dari pemerintah atau Dinas Pendidikan setempat,” katanya.

Gerakan 10 Menit Membaca tersebut adalah bagian dari rangkaian kegiatan Festival Pelajar Yogyakarta 2012 setelah pada pekan lalu pelajar dari Kota Yogyakarta itu juga memulai gerakan pengumpulan 10.000 buku.

“Sudah banyak buku yang masuk ke kami. Kami juga sudah menghubungi ketua-ketua OSIS di setiap SMA/SMP untuk bisa membantu gerakan penggalangan buku. Ada semacam kotak pengumpulan buku di sekolah-sekolah,” katanya.

Sementara itu, Ketua Panitia Festival Pelajar Yogyakarta 2012 Aji Z. mengatakan bahwa kegiatan festival tersebut untuk meningkatkan solidaritas antarpelajar di Kota Yogyakarta.

“Ada berbagai kegiatan yang telah dilakukan. Khusus untuk gerakan penggalangan buku, kami targetkan bisa mengumpulkan 10.000 buku yang kemudian akan disumbangkan ke pihak-pihak yang membutuhkan,” katanya.

Sebelumnya, Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta Edy Heri Suasana mengatakan bahwa Yogyakarta membutuhkan pelajar-pelajar yang kreatif, cerdas, inovatif, dan selalu optimistis.

sumber: REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA –

 

Berkenalan Dengan Blogfam; Belajar Merangkai Kata Menjadi Bermakna 6 Desember 2011

Filed under: Hoby — paiting @ 3:45 PM


Teringat kembali kata putu widjaya “berawal dari tak ada, tak ada kerja yang sia-sia” demikianlah sebait kalimat yang masih saya ingat bahwa melalui tiada menjadi ada di perlukan suatu proses, proses yang dilaluipun berbeda. ada yang lancar, mulus bak jalan tol, ada yang curam, berliku dan terjal. tak ada proses dapat berhasil  tanpa kerja keras.

Perkenalan dan perjumpaan  saya dengan komunitas blog family  atau blogfam terjadi 3-4 bulan yang lalu, ketika salahsatu teman menjadi salahsatu penulis buku THE KEY WORD – Perpustakaan di Mata Masyarakat  terbitan kerjasama Perpus UIn SUKA,  blogfam.com dan  Perpustakaan Kota Yogyakarta. Sejak saat itu saya tertarik dan ingin mengetahui  kegiatan komunitas blogfam. Ketertarikan membuat saya membuka halaman forum blogfam. Namun entah karena  apa registrasi anggota baru di forum tersebut belum berhasil. Dan karena kesibukan saya sampai beberapa hari yang lalu saya berhasil menjadi anggota forum blogfam.

Perjumpaan kedua adalah ketika blogfam, melalui group Facebooknya menyeleggarakan sayembara bertema Perpustakaan impianmu, postingan di akun facebook saya adalah

“siang tadi berbincang dengan teman, ternyata belum banyak di lakukan, tentang perpustakaan, pengen rasanya punya sepetak tanah, disana akan ku dirikan tiga bangunan, bangunan utama tempat buku2, ya..sebuah ruang baca sperti harapan muhidin m dahlan buka sampe jam12mlm, pustakawannya spt magliabechi dan tidak mendapaat kutukan spt tulisan bambang hartoyo. bangunan kedua sebuah warung, warung kopi dan makan tempatnya.tempat profit penopang perpustakaaan, dngan layanan yang ramah, sambil menyodorkan makanan, pelayaan bilang “mau membacaa buku apa??” bangunan ketiga, sebuah stage (panggung kecil) tempat berdiskusi,tempat menyalurkan aspirasi teman komunitas, teman pepustakaaan, lengkap rasanya membaca buku sambil menikmati scangkir kopi dan mendengarkan kawan bersikusi. semoga bukan mimipi”   http://www.facebook.com/mohammad.l.hakim2/posts/2292054139196?ref=notif&notif_t=like

Postingan di atas kemudaian terpilih menjadi salahsatu pemenang dalam lomba tersebut, saya mengucapkan terimakasih dan rasa ingin tahuku tentang keluarga baru ini semakin menjadi2 setelah bertemu dengan kang iwok, bu labibah dll. Layaknya sebuh keluarga blogfam dan orang2 yang didalamnya berbaur menjadi satu, tak memandang status kedudukan dan jabatan, seiapa aku, siapa kamu, apa yang aku bisa apa yang kamu bisa..semua berbagi dan dari blogfam aku banyak mendapatkan keuntungan. Dapat  teman, dapat ilmu di Forum baik itu menulis, olahraga dan kesehatan, memasak dapat menuangkan kesedihan maupun kegembiraan. Yang jelas di blogfam aku ingin belajar menulis, belajar ngeblog, dan aku yakin orang2 di dalamnya akan siap membantu dan memotifasi aku.

Perjumpaaan ketiga dalam rangka ulangtahun ke-8, blogfam membagi-bagikan hadiah dalam setiap kuiz, Alhamdulillah saya menang lagi dalam kuis di hari ke 4, yaitu menyebutkan 3 judul buku terbitan blogfam, postingan saya di tweeter adalah:

@blogfam (1) Komedia Cinta 2 : Ramuan Jomblo (2) KUmpulan Cerita Anak Blogfam; 2007 (3) Makan Tuh Cinta! available Soon! #HUTBlogfam

Dari kemangan di kuiz blogfam tersebut  semakin meyakinkan aku, bahwa dengan bergabumg menjadi salahsatu keluarga blogfam, keingnan dan cita2 untuk menulis mejadi betambah bergairah. Menulis demi  cita-cita dan masa depan keluargaku..dan pada khirnya klk akan bias bebggi juga dengaan keluuarga yang lain.

Selamat ulangtahun yang ke-8 untuk blogfam beserta seluruh keluarga besarnya, cita-cita dan harapan pribadi, semoga dapat beristiqomah belajar dan tekun dan bekerja keras dalam menulis. Mohon bimbingannya. Dan semoga cita-cita blogfam untuk membangun komunitas blog Indonesia dapat terwujud. Saya yakin dengan bertambahnya umur maka makin banyak keluarga2 baru yang akan bergabung, dan nantinya pun akan semakin bertambah  besar, perlu di buatkan regional-regional di setiap daerah, semkin banyka road show dan kopdar khususnya untuk kalangan muda, berkampanye untuk mengenalkan blogfam, lebih sering melakukan kegiatan dan pelatihan  dalam kepenulisan dan bagaimana ngeblog yang cerdas dan cara berinternet yang sehat sehat.

Mak demikianlah, Dengan ini perkenankanlah saya meminta izin untuk bergabung dan menjadi keluarga blogfam ..:) terimakasih dan mohon bimbingannya.

Salam;

Luthfi_elhakim

 

DEWEY:Si Kucing Perpustakaan 5 Januari 2010

Filed under: Kepustakawanan — paiting @ 4:25 AM
Tags: ,

Oleh: Hernadi Tanzil

Buku yang diangkat dari kisah nyata ini menceritakan kisah Dewey seekor kucing jalanan yang ketika usianya baru beberapa minggu dibuang ke sebuah kotak pengembalian buku di Perpustakaan Umum Spencer, Iowa, Amerika Serikat oleh seseorang tak dikenal saat musim dingin di tahun 1998. Ia baru ditemukan keesokan harinya oleh direktur perpustakaan, Vicki Myron.

Dalam keadaan yang hampir mati beku kedinginan Vicky mengangkat kucing itu dan segera menghangatkannya dan menjadikan perpustakaan sebagai rumah bagi si kucing. Siapa yang bisa menduga, tindakan sederhana yang dilakukan Vicky terhadap anak kucing jalanan itu kelak akan memberi pengaruh yang luar biasa besar baik untuk dirinya, Perpustakaan Spencer, bahkan kota kecil Iowa pada umumnya.

Kucing malang itu diberinya nama Dewey, seperti nama penemu system pengklasifikasian buku. Dewey segera mencuri hati para pegawai Perpustakaan Spencer. Hampir semua staf perpustakaan mencintainya. Tak seperti kucing jalanan pada umumnya, Dewey terlihat lebih manis, cerdas, dan yang terutama adalah sikapnya dan interaksinya yang baik terhadap pengunjung perpustakaan.

Awalnya kehadiran Dewey hanya diketahui oleh staf perpustakaan dan beberapa pengunjung saja, namun lambat laun Dewey semakin terkenal, seminggu setelah ia tinggal di perpustakaan kisah penyelamatan Dewey muncul di harian pertama surat kabar lokal. Publisitas ini akhirnya membuat seluruh penduduk Iowa mengetahui keberadaannya.

Kepopuleran Dewey dan sikap manisnya terhadap pengunjung perpustakaan membuat Dewey seolah menjadi duta perpustakaan dan inspirasi bagi siapa saja yang berinteraksi dengannya. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya orang yang tertarik pada Dewey, jumlah kunjungan ke perpustakaan Spencer bertambah secara mencolok. Orang-orang tinggal lebih lama di perpustakaan dibanding sebelumnya, mereka pulang dengan gembira dan kegembiraan itu dibawa pulang ke rumah, ke sekolah, dan ke tempat kerja. Dan orang-orang mulai membicarakan Perpustakaan Spencer.

Ketenaran Dewey ternyata terus bertambah, kini ia tak hanya dikenal di Iowa, kisahnya bahkan menembus hingga ke kota-kota sekelilingnya, melintasi negara bagian, hingga akhirnya merebak ke Negara-negara lain. Bahkan televisi NHK Jepang memilih Dewey menjadi proyek pertama mereka dalam pembuatan film dokumenter binatang.

Kehidupan Dewey selama sembilan belas tahun ini akhirnya memang akan menjadi sumber kebanggaan bagi Iowa, sebuah kota pertanian yang ketika Dewey ditemukan nyaris bangkrut. Dewey memang tidak menciptakan lapangan kerja atau apapun yang membuat kota Iowa menjadi maju secara ekonomi, namun tanpa disadari kehadiran Dewey muncul pada saat yang tepat dimana saat itu Amerika dilanda krisis ekonomi, kehadiran Dewey sedikit banyak telah mengalihkan pikiran negatif dari pendududuk Iowa akibat krisis ekonomi.

Kisah kehidupan Dewey, kucing perpustakaan inilah yang oleh Vicki Myron (penemu Dewey) dan Bret Witter (editor dan pecinta kucing) dituangkan dalam sebuah buku yang diberinya judul “Dewey”. Secara umum buku ini memang menceritakan bagaimana seekor kucing jalanan yang dibuang orang kelak akan menjadi kucing yang paling dikenal di dunia dan bagaimana Dewey menjadi inpirasi bagi banyak orang.
Pada awalnya Dewey hanya menyentuh kehidupan Vicky, ia menjadi perekat hubungan Vicky dengan anak gadisnya yang mulai renggang. Lalu Dewey juga menjadi perekat hubungan antar staf perpustakaan Spencer tempat Vicky bekerja. Lambat laun pengaruh positif Dewey semakin meluas lagi. Sikapnya yang manis terhadap pengunjung perpustakaan membuat ia menjadi kucing yang paling dicintai.

Tak hanya warga kota Iowa saja yang mencintai Dewey, bahkan orang-orang dari luar kota yang jaraknya puluhan hingga ratusan kilometer dari Iowa pun kerap berkunjung ke perpustakaan Spencer untuk menemui Dewey.

Dari keseluruhan kisah mengenai Dewey dalam buku ini kita tak akan menemui sebuah peristiwa heroik yang dilakukan Dewey. Dewey bukanlah kucing pahlawan, ia hanyalah seekor kucing biasa, namun yang membuat ia terkenal dan menjadi inpirasi bagi banyak orang adalah sikapnya yang manis terhadap semua pengunjung perpustakaan.

Dewey tidak memilih-milih orang yang disayanginya. Dia mencintai semua orang tanpa pilih kasih. Setiap hari dia Setiap menyambut orang-orang yang datang ke perpustakaan, duduk di pangkuan pengunjung yang membutuhkannya, sehingga membuat orang-orang itu merasa diperhatikan oleh Dewey.

Hal terbesar yang dilakukan Dewey adalah bagaimana persahabatannya dengan Crsytal seorang gadis cacat mampu merubah gadis itu yang tadinya sangat tertekan menjadi lebih optimis dan menikmati saat-saat bahagia bersamanya. Tak hanya dengan Crsytal, Dewey juga bersahabat dengan seorang gelandangan, anak yang setiap harinya ditinggal kerja oleh ibunya, hingga seroang eksekutif muda. Hubungannya dengan banyak orang dari berbagai kalangan itulah yang membuat Dewey menjadi inpirasi bagi semua orang yang berinteraksi dengannya.

Apa yang ditulis oleh Vicky mengenai kucing kesayangannya ini memang luar biasa, namun untungnya Vicky tak terjebak untuk menuliskan semua kelebihan Dewey, di buku ini juga akan terungkap sisi buruk Dewey seperti cerewet dalam memilih makanan, sulit untuk diajak ke dokter, kabur dari perpustakaan, dll. Sehingga sosok Dewey yang ditampilkan bukanlah sebagai kucing sempurna melainkan seekor kucing normal yang memiliki kabaikan dan keburukan.

Selain tentang Dewey tampaknya penulis juga menuturkan kisah hidupnya dalam buku ini. Mulai dari kisah pernikahannya yang gagal, perjuangannya membesarkan satu-satunya anak gadisnya, hingga berbagai penyakit yang dideranya.

Bagian-bagian inilah yang menurut saya agak menyimpang dari tema utama buku ini. Tak ada salahnya jika masih menyangkut Dewey, tapi ada banyak hal yang dalam kisah kehidupan yang dituturkannya tak berhubungan dengan Dewey sehingga bagian ini seolah berdiri sendiri dan tak ‘nyambung’ dengan kisah Dewey.

Karena kehidupan Dewey berada dalam perpustakaan maka aktivitas dan semua pernah-pernik perpustakaan akan muncul di buku ini. Seperti bagaimana perkembangan perpustakaan Spencer dari waktu ke waktu selama Dewey hidup, beralihnya system manual ke komputerisasi, usaha-usaha yang dilakukan perpustakaan sencer untuk menarik minat pengunjung, dll.

Hal ini tentunya sangat menarik dan bermanfaat juga bagi pemerhati dan praktisi perpustakaan kita. Sedikit banyak kita akan belajar dan disadarkan bahwa fungsi perpustakaan bukan sekedar gudang yang sunyi tempat menyimpan buku, melainkan sebuah rumah untu berkumpul, ruang publik dimana perpustakaan menjadi sentral bagi perkembangan dan berbagai aktifitas social dan budaya masyarakat di sekitarnya.

Sebagai kesimpulan, terlepas dari kelebihan dan kekurangan buku ini, buku yang diangkat dari kisah nyata ini kita akan disuguhkan kisah menakjubkan dari seekor kucing yang begitu menginpsirasi jutaan orang, bukan karena tindakan kepahlawanannya melainkan karena cinta, kemurahan hati, dan kekuatan hubungan yang baik antara manusia dengan hewan. Selain itu buku ini juga mengajak pembacanya untuk berpikir positif di tengah segala kesulitan hidup.

Judul: DEWEY – Kucing Perpustakaan Kota Kecil yang Bikin Dunia Jatuh Hati
Penulis: Vicki Myron dan Brett Witter
Penerjemah: Istiani Prayuni
Penyunting: Mita Yuniarti dan Anton Kurnia
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta
Terbit: I, Oktober 2009
Tebal : 400 hlm

Diunduh dari Catatan Facebook Hernadi tanzil dan Blog Resensi http://bukuygkubaca.blogspot.com pada 15 Desemeber 2009

 

Kunci Kejayaan Islam Ada di Perpustakaan 30 November 2009

Filed under: Kepustakawanan — paiting @ 10:06 AM
Tags: ,

Written by Yossy Suparyo
Saturday, 10 October 2009 23:15 – Last Updated Saturday, 10 october 2009 23:56

Kunci kejayaan umat Islam ada di tangan pustakawan. Pada era keemasan Islam, buku dianggap lambang kemajuan. Ibu peradaban dan kebudayaan.  Perpustakaan dapat dijumpai di mana-mana dengan koleksi buku yang melimpah. Begitu pula pengunjung tetap perpustakaan dan pencinta buku. Situasi di atas terjadi pada zaman Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah Harun Ar–Rasyid (786–809M) dan putranya Khalifah Al–Ma’mun (813–833 M).

Kota Baghdad bukan saja terkenal sebagai pusat penerbitan buku, tapi juga pusat penulisan risalah ilmiah, sastra, dan filsafat. Tak heran Baghdad menjadi pusat peradaban dunia. Kondisi sebaliknya dialami warga di daerah Eropa. Saat itu seluruh daratan Eropa mengalami masa kegelapan  pengetahuan.

Mengapa kegiatan ilmiah sangat menonjol pada era Abbassiyah? Kedua khalifah sadar tatanan masyarakat yang baik hanya bisa diraih melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Allah SWT menempatkan “Iqra“ (bacalah) sebagai wahyu pertama yang disampaikan. Ibnu Uda, meriwayatkan Muhammad SAW pernah berkata “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina
sekalipun.“

Perkembangan ilmu pengetahuan dipercepat dengan didirikannya perpustakaan. Perpustakaan menyimpan dan menghimpun ilmu pengetahuan dan informasi yang diperoleh dan dilahirkan umat manusia dari masa ke masa. Ilmu dan informasi itu disampaikan kepada orang lain melalui media rekaman, salah satunya ialah buku. Jadi, perpustakaan berfungsi sebagai pengantar ilmu dan informasi kepada masyarakat yang memerlukannya.

Banyaknya perpustakaan dan melimpahnya buku mencerminkan kesadaran masyarakat Islam saat itu terhadap ilmu pengetahuan. Maka tak heran banyak pustakawan yang lahir. Salah satu diantaranya yang terkenal ialah Muhammad Ibn Ishaq Al–Nadim. Dia menerbitkan suatu buku indeks dengan judul Al–Fihrist, yang merupakan maha karyanya. Kitab Al–Fihrist merupakan indeks buku–buku karya orang arab dan orang nonarab yang ditulis dalam bahasa arab tentang semua cabang pengetahuan, disusun berdasarkan pengarang, asal–usul, dan riwayat hidupnya dan negeri tempat tinggal, sejak cabang ilmu pengetahuan dikembangkan sampai tahun 987–988.

Perpustakaan yang termegah saat itu ialah perpustakaan Bayth Al–Hikmah. Perpustakaan ini didirikan oleh Khalifah Harun Ar–Rasyid dan mencapai puncak kejayaan pada masa anaknya, Khalifah Al Ma’mun. Perpustakaan tersebut sampai pertengahan abad ke–9, koleksinya mencapai kurang lebih satu juta koleksi yang berisi teks berbagai ilmu pengetahuan, sastra, dan filsafat dari pelbagai negeri. Di dalammnya terdapat sebuah ruang baca yang megah dan tempat tinggal para pekerja perpustakaan.

Perpustakaan juga dimanfaatkan sebagai tempat pertemuan para ilmuan untuk mengadakan diskusi–diskusi ilmiah dan pengamatan bintang. Perpustakaan ini lebih menyerupai sebuah universitas. Perpustakaan tersebut juga berfungsi sebagai kantor penerjemahan, terutama karya–karya kedokteran, filsafat, matematika, kimia, astronomi, dan ilmu alam. Buku–buku yangditerjemahkan didatangkan dari Bizantium dan tempat lainnya.

sumber: http://yossysuparyo.dagdigdug.com

 

Library 2.0 21 Juli 2009

Filed under: Kepustakawanan — paiting @ 1:23 AM

Library 2.0
Oleh: Agus M. Irkham
Jawapost, mingu 19 juli 2009

BUKU tak pernah sendiri. Ia senantiasa berkumpul dengan buku lainnya. Baik secara fisik, yang tertata di rak buku, perpustakaan, dan toko buku, maupun secara substansial (isi). Maka benar jika ada yang mengatakan buku yang terbit saat ini sejatinya merupakan hasil pembacaan atas buku yang terbit di masa lalu. Sejak kelahirannya, buku tak pernah sendirian. Setiap buku selalu lahir bersama, dan melahirkan buku-buku lainnya.

Tidak ada satu pun buku di dunia ini yang berdiri sendiri. Ia selalu menjadi bagian dari buku lainnya. Kita cenderung mengait-kaitkan/menggandengkan isi buku satu dengan lainnya. Adalah tugas penulis untuk mencari, dan menemukan ragam ucap dan ekspresi kebahasaan yang berbeda (baru) atas satu subjek pembahasan yang sama. Itu sebabnya dalam dunia perbukuan muncul istilah buku berbalas buku.

Sebagaimana lahirnya suatu teori: tesis, antitesis, sintesa; demikian pula buku. Dengan begitu, buku yang lahir saat ini, merupakan himpunan upaya manusia mencari kebenaran suatu teori, dalam tingkat yang lebih tinggi. Lahirnya suatu buku bukanlah sesuatu yang sudah jadi/final/selesai. Melainkan sedang menjadi (becoming). Maka, jangan heran, di waktu bersamaan, ada sementara pihak yang fanatik terhadap satu buku, tapi ada juga yang mengharamkannya. Sebab, dinilai sebagai bentuk pemaksaan secara halus (hegemoni) satu kelas (ideologi) kepada kelas (ideologi) lainnya.

Tiga Nilai Dasar

Ada beberapa nilai dasar yang harus dipahami dari kenyataan buku yang tak pernah sendiri itu. Pertama, buku mempunyai nilai di luar bentuk fisiknya. Bukti yang paling bisa dilihat dari value ini adalah penataan buku di rak buku. Mereka tidak diletakkan berdasarkan ukuran fisik (tebal-tipis, panjang-pendek, lebar-sempit), tapi berdasarkan kesamaan isi. Mereka memunyai hak yang sama untuk didaras.

Kedua, ketika satu buku diterbitkan, maka sudah dengan sendirinya membawa serta dekontekstualisasi suatu teks. Artinya, tiap pembacanya memunyai kebebasan menentukan cara pembacaan dan pemberian makna terhadap buku itu. Termasuk pilihan untuk tidak membacanya.

Ketiga, munculnya perpustakaan sebagai bentuk konsekuensi nyata perpanjangan alamiah dari upaya terus-menerus memperbesar himpunan buku (kumpulan dari kelompok-kelompok buku–terciptanya berbagai bentuk data, informasi, dan pengetahuan– yang saling bertalian satu sama lain).

Mengingat perpustakaan, awalnya merupakan wadah bagi buku yang tak pernah sendiri, otomatis ia menjadi lembaga yang bersifat terbuka pula. Terbuka bagi pembaca buku yang memunyai latar belakang sosial, ekonomi, budaya, minat dan ketertarikan berbeda.

Perpustakaan diharapkan menjadi institusi budaya. Tempat bagi tiap orang untuk mengembangkan dan memelihara budaya yang berbasis pada tulisan. Perpustakaan menjadi tujuan orang-orang yang ingin menimba nilai-nilai penting dari sebuah budaya. Ia harus menjalankan fungsi memproduksi, menjaga, dan menyebarluaskan nilai-nilai budaya membaca.

Selain itu, perpustakaan hendaknya juga berfungsi sebagai memori kolektif. Sebuah kenangan bersama yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk mempertahankan warisan kebudayaan (cultural heritage) mereka. Semua orang memunyai kesempatan yang sama dalam membaca hal yang sama (Laxman Pendit, Mata Membaca Kata Bersama, 2007; 135)

Namun, perpustakaan-perpustakaan milik pemerintah yang ada baik di tingkat kabupaten dan provinsi, belum sepenuhnya berfungsi demikian. Perpustakaan dikelola lebih sebagai tempat menyimpan buku. Pustakawannya pun tidak berinisitif mengambil posisi sebagai penggerak utama (prime mover) kerja-kerja kreatif program keberaksaraan. Perpustakaan ditempatkan hanya sebagai pendukung teknis dari institusi lain. Bukan menjadi sesuatu yang ”otonom”.

Dari sinilah mulai muncul gerakan minat baca (dan tulis) dari komunitas literasi. Basis gerakan komunitas literasi biasanya berupa pembentukan perpustakaan. Hingga disebut sebagai perpustakaan komunitas. Perpustakaan komunitas adalah gerakan keberaksaraan yang berpamrih menghilangkan batas antaranggota masyarakat dalam membaca, dan mengembalikan fungsi perpustakaan sebagai tempat ke mana seseorang dapat memeroleh kembali haknya untuk membaca buku yang ingin dibacanya. Pada titik ini, perpustakaan komunitas hendak mengembalikan kemerdekaan fungsi dan peran perpustakaan itu sendiri.

Generasi kedua

Selain bermekarannya berbagai perpustakaan komunitas, perkembangan perpustakaan (wadah buku yang tak pernah sendiri) ditandai pula dengan pergeseran sistem simpan dan temu-kembali, yang semula manual (katalog, koleksi, dan pelayanan berbasis atom/kertas) berubah menjadi digital/otomasi (berbasis image/byte/sistem komputer). Cara pertama dapat kita sebut sebagai perpustakaan generasi pertama. Sesudahnya bisa disebut sebagai perpustakaan generasi kedua (library 2.0).

Ciri paling kentara dari library 2.0 adalah terjadinya relasi interaktif, multiarah, dan partisipatif antara pengguna dan pustakawannya, serta sistem kerja dan koleksi yang bersifat kolaboratif (dari banyak sumber) nan dinamis. Pada titik ini, perpustakaan generasi kedua menjadi wadah paling ideal bagi himpunan buku yang tak pernah sendiri itu. Praktik library 2.0 di Indonesia dapat ditandai dengan mulai berkembangnya software sistem otomasi perpustakaan (SOP). Baik yang bersifat gratis (open source, seperti ”Senayan” dan ”Athenaeum Light”) maupun yang berbayar.

Library 2.0 mensyaratkan adanya pustakawan yang melek teknologi, bersahabat (friendly), mau berbagi, gaul, aktif di situs jejaring sosial (facebook, friendster), mahir menulis, sekaligus narsis. Dalam logika library 2.0, upaya ”menjual” citra diri berada dalam satu tarikan napas dengan tujuan memasarkan perpustakaan. Oleh karenanya tiap pustakawan wajib mempunyai blog/website pribadi.

Muncul pertanyaan-sangkaan klise: siapkah para pustakawan dan perpustakaan di Indonesia (terutama perpustakaan pemerintah) menghadapi perubahan tersebut? Saya kira, daripada sibuk menjawab pertanyaan itu –yang besar kemungkinan pasti bersifat reaktif sekaligus mencari pembenaran/pemakluman– lebih baik mereka segera insaf. Bergegas melakukan transisi kelembagaan, menyangkut sistem, keterampilan (skill) dan sikap (atitude). (*)

*) Agus M. Irkham, Instruktur Literasi Forum Indonesia Membaca!

 

Budaya Baca Indonesia Terendah di Asia Timur 20 Juni 2009

Filed under: Uncategorized — paiting @ 4:05 AM

KOMPAS/AUFRIDA WISMI WARASTRI
Kamis, 18 Juni 2009 | 02:59 WIB

SURABAYA, KOMPAS.com–Budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur berdasarkan data yang dilansir Organisasi Pengembangan Kerja sama Ekonomi (OECD), kata Kepala Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya Arini.

Saat berbicara dalam seminar “Libraries and Democracy” digelar Perpustakaan Universitas Kristen (UK) Petra Surabaya bersama Goethe-Institut Indonesien dan Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia (ISIPII) di Surabaya, Rabu, dia mengatakan, OECD juga mencatat 34,5 persen masyarakat Indonesia masih buta huruf.

“Karena itu, pengembangan minat baca merupakan solusi yang tepat, apalagi anak SD yang dibiasakan dengan budaya baca dan tulis memiliki prestasi tinggi dibanding anak SD yang selama enam tahun tidak dibiasakan dengan budaya baca dan tulis,” katanya dalam seminar yang juga menampilkan pakar perpustakaan dari Jerman Prof Dr Phil Hermann Rosch itu.

Menurut dia, pembiasaan membaca dan menulis itu harus dilakukan dengan program pemaksaan pinjam buku di perpustakaan, lalu diberi tugas membuat kesimpulan dari buku yang dipinjam.

“SD swasta yang melaksanakan hal itu umumnya memiliki prestasi yang sangat memuaskan dibandingkan sekolah negeri yang belum memiliki kebiasaan itu,” katanya.

Oleh karena itu, katanya, Perpustakaan Kota Surabaya mengembangkan program ke arah sana, di antaranya membuka perpustakaan selama tujuh hari dalam seminggu.

“Kami juga mengembangkan program pembinaan perpustakaan yang ada dengan pengadaan 157.095 buku setiap tahunnya, sekaligus melatih pustakawan yang ada,” katanya.

Program lain yang sangat penting adalah pengembangan “Sudut Baca” di berbagai kawasan publik seperti puskesmas, balai kelurahan, perkantoran, perusahaan, dan pusat-pusat keramaian.

“Karena itu, kami merancang rancangan peraturan daerah untuk penyediaan fasilitas sudut baca di berbagai lokasi layanan publik di Surabaya,” katanya.

Senada dengan itu, pakar perpustakaan dari Jerman Hermann Rosch menyatakan, perpustakaan itu menunjang pembelajaran sepanjang hidup, pengembangan pandangan yang tak muncul di permukaan, dan mendukung transparansi.

“Perpustakaan itu tidak hanya berfungsi pendidikan, tapi juga sosial, politik, dan informasi. Fungsi sosial terkait dengan pengembangan emansipasi, sedangkan fungsi politik terkait dengan kompetisi ide dan transparansi. Untuk fungsi informasi terkait dengan upaya mendorong keterbukaan dalam masyarakat,” katanya.

 

UI Bangun Perpustakaan Terbesar di Dunia 2 Juni 2009

Filed under: Kepustakawanan — paiting @ 6:26 AM

Subject: [iluni] Pemancangan Tiang Pertama Perpustakaan Besar UI Senin 1/6/2009
Date: Monday, June 1, 2009, 1:33 AM

*Didit Tri Kertapati* – detikNews

Salah satu perpustakaan terbesar di dunia akan segera berdiri di
Depok, Jawa Barat. Universitas Indonesia (UI) tengah membangun perpustakaan
tersebut di lahan seluas 3,5 hektar. Anggarannya Rp 110 miliar.

“Rencananya selesai dibangun pada akhir Desember 2009,” kata Rektor (UI)
Gumilar Soemantri usai pemancangan tiang pertama pembangunan gedung utama
perpustakaan di Kampus UI, Depok, Jawa Barat, Senin (1/6/2009).

Fasilitas baru ini merupakan bagian upaya meningkatkan kualitas SDM dan
jantung dari kegiatan akademik UI kelak. Bukan hanya mahasiswa dan civitas
akademisi yang bisa menggunakannya, tapi juga masyarakat luas.

Kompleks pepustakaan ini terdiri dari tiga gedung utama yang masing-masing
memiliki 8 lantai. Di sekelilingnya terdapat 10 gedung lain yang
merepresentasikan banyaknya fakultas di UI dan semuanya terhubung dengan
fasilitas belajar terkemuka di luar negeri.

“Koleksi buku yang bisa ditampung antara 3 sampai 5 juta judul buku. Ini
akan menjadi salah satu yang terbesar dunia,” papar Gumelar.

Bukan hanya terbesar di dunia, kompleks perpustakaan tersebut juga
memerapkan konsep ramah lingkungan dalam kegiatan operasionalnya kelak.
Misalnya menggunakan solar cell sebagai pemasok energi, menekan penggunaan
plastik dan kertas serta menghemat penggunaan air.

“Kendaraan bermotor dilarang masuk. Untuk sarana transportasi dalam kompleks
bisa jalan kaki atau menggunakan sepeda,” imbuhnya.
* (lh/iy)*

 

Era perpustakaan digital 30 Mei 2009

Filed under: Kepustakawanan — paiting @ 3:33 AM
Tags: ,

Perkembangan perpustakaan khususnya perpustakaan perguruan tinggi boleh dibilang mengalami trend positif akhir-akhir ini. Perpustakaan tidak saja dipandang sebelah mata tetapi sudah diposisikan sebagai jantung universitas (bila keberadaannya di Universitas). Ia juga menjadi motor penggerak dalam hal budaya pendidikan dan penelitian. Ia bukan lagi pelengkap yang pada akhirnya hanya menjadi gudang penyimpanan (baca= pembuangan) hasil-hasil penelitian yang artificial. Ia juga bukan lagi menjadi sosok penyendiri yang solitary, tempat orang-orang “buangan” yang tidak dikehendaki, pelengkap atau symbol status social kaum feudal. Perpustakaan telah berevolusi menjadi sebuah sosok baru. Sebuah institusi yang telah diperhitungkan. Sebuah badan penting yang secara sadar telah “ditinggalkan” karena sebuah kesalahan. Sebuah unit penyokong utama budaya pendidikan dan penelitian. Ia mulai berbenah, dan mempercantik diri. Ia mulai sadar akan kekuatan yang ada pada dirinya. Sebuah kekuatan yang berbasis pengetahuan, teknologi dan peradaban. Perpustakaan menjelma menjadi kekuatan yang diperhitungkan.Sadar akan arti pentingnya perpustakaan bagi sebuah institusi pendidikan, ia mualai bergerak untuk berbenah. Seakan mengikuti trend, perpustakaan seakan berevolusi menjadi bentuk digital. Secara etimologi, Perpustakaan digital (Inggris: digital library atau electronic library atau virtual library) adalah perpustakaan yang mempunyai koleksi buku sebagian besar dalam bentuk format digital dan yang bisa diakses dengan komputer. Jenis perpustakaan ini berbeda dengan jenis perpustakaan konvensional yang berupa kumpulan buku tercetak, film mikro (microform dan microfiche), ataupun kumpulan kaset audio, video, dll. Isi dari perpustakaan digital berada dalam suatu komputer server yang bisa ditempatkan secara lokal, maupun di lokasi yang jauh, namun dapat diakses dengan cepat dan mudah lewat jaringan komputer. Digitalisasi sudah dirasa perlu ketika kecepatan dan akurasi akses database informasi sudah bergeser dari gagah-gahan ke arah kebutuhan

Globalisasi Yang Menembus Batas

Era digital memungkinkan komunikasi dan akses informasi yang tanpa batas. Sebuah konsep yang memandang sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.

Anggapan atau jalan pikiran di atas tersebut tidak sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tak berguna. John Naisbitt (1988), dalam bukunya yang berjudul Global Paradox ini memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Naisbitt (1988) mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang paradoks, yaitu semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin kesukuan, dan berpikir lokal, bertindak global. Hal ini dimaksudkan kita harus mengkonsentrasikan kepada hal-hal yang bersifat etnis, yang hanya dimiliki oleh kelompok atau masyarakat itu sendiri sebagai modal pengembangan ke dunia Internasional.

Paradoks Produktifitas

Untuk mewujudkan semuanya memang dibutuhkan investasi yang tidak sedikit. Artinya adalah, akan ada sebuah infrastruktur yang akan dibangun untuk mendukung berjalannya system tersebut. Kemudian muncul kekawatiran terjadinya paradoks produktifitas, di mana ada ketimpangan antara profit dan investasi. Investasi awal yang besar terasa tidak sepadan dengan profit yang didapatkan. Tetapi sesungguhnya kita haruslah sadar, bahwa bisnis jasa bukanlah seperti berdagang di pinggiran pasar. Setelah barang terjual, langsung mendapat keuntungan. Bisnis jasa tak ubahnya seperti menanam, yang memerlukan proses lama untuk tumbuh dan berkembang. Banyak yang berhasil dengan gemilang, tak jarang pula yang kemudian tumbang beberapa saat setelah berinvestasi.

Kita juga harus ingat, bahwa sebuah perubahan yang radikal kadang diperlukan untuk sekedar bertahan hidup. Jack Trout dalam bukunya Differentiate or Die : Survival in Our Era Killer Competition, pernah mengatakan bahwa kita harus berubah secara cepat (radikal) atau kita akan mati secara cepat pula. Dalam dunia bisnis terkadang kita tidak mempunyai pilihan selain berubah atau mati.

Perubahan dan invenstasi yang terkesan memberikan fatamorgana dan paradok produktifitas, harus tetap bisa diterima sebagai bagian dalam rangka sustainable atau strategi bertahan hidup.

Perubahan Mindset

Pembangunan digital library yang beberapa tahun terakhir ini seakan jalan di tempat lebih banyak disebabkan oleh macetnya perubahan mindset pengelola perpustakaan itu sendiri. Beberapa pengelola masih berpandangan konservatif. Sempitnya perspektif ini tidak lain karena mindset mereka yang belum sepenuhnya terbentuk. Keengganan pustakawan dalam pengembangan dirinya tentang teknologi informasi ikut menghambat laju perkembangan digital library.

Mindset yang belum terbentuk inilah yang kadang membuat pustakawan terlalu bergantung kepada orang lain untuk urusan yang bersinggunggan dengan teknologi. Pustakawan masih saja lebih banyak bergelut dengan kepangkatan, reposisi diri, dan masalah “bertahan hidup”

Perubahan itupun juga harus diimbangi dengan etos kerja yang tinggi, bukan lagi sekedar tukang ketik, penunggu buku lapuk, ataupun pupuk bawang. Tak dipungkiri bahwa pekerjaan pustakawan bermula dari hal-hal administratif, namun dengan adanya bantuan computer dan digitalisasi, pustakawan harus dituntut lebih kreatif lagi dalam bekerja. Tidak lagi berpikir secara administratif, namun juga harus mulai memikirkan hal-hal yang strategis yang berhubungan dengan perkembangan manajemen perpustakaan jangka panjang. Padahal, pustawakan generasi lama tidak dibekali ilmu tentang strategic management planning. Pustakawan hanya tahu seputar pengolahan, pengadaan, sirkulasi, dan bagaimana ketiganya bisa menjadi sebuah pelayanan yang terintegrasi sehingga waktu pelayanan bisa dipersingkat.

Pekerjaan pustakawan telah bergeser kepada hal-hal manajemen tingkat tinggi yang membutuhkan keahlian khusus. Sehingga substansi utama pekerjaan pustakawan pun kini semakin kompleks. Fenomena ini harus disikapi sebagai hal positif, artinya bahwa pekerjaan pustakawan telah mengalami satu loncatan besar dalam sejarah kepustakawanan. Memikirkan hal-hal yang strategis, sekarang lebih penting daripada sekedar hal-hal yang administratif.
sumber:
http://artikel.rudisantoso.com/?p=68

 

Tenaga Perpustakaan Masih Belum Memadai

Filed under: Kepustakawanan — paiting @ 12:00 AM
Tags: , ,

JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional Surya Dharma mengatakan, Kamis (28/5), ketersediaan tenaga perpustakaan masih terbatas. Baru terdapat 221 tenaga fungsional pustakawan di sekolah-sekolah yang telah memiliki perpustakaan. Saat ini, sekitar 16.000 sekolah sudah memiliki perpustakaan yang memenuhi standar.

Tenaga fungsional pustakawan berlatar belakang minimal diploma dua di bidang perpustakaan. Selebihnya, tenaga perpustakaan merupakan guru, petugas administrasi, atau tenaga lain di sekolah.

Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas Baedhowi mengatakan, tidak dapat dipungkiri, perpustakaan memiliki peranan penting dalam usaha peningkatan mutu pembelajaran di sekolah. Namun, diakui, pemerintah belum dapat berbuat maksimal.

Secara umum, belum semua sekolah memiliki perpustakaan dan tenaga perpustakaan. Ketidakcukupan ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan semua pemangku kepentingan sekolah. Demikian dikatakannya.

Dalam usaha mewujudkan kecukupan buku wajib, pemerintah telah berusaha keras memenuhinya antara lain dengan menaikkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), termasuk untuk BOS buku. Pemerintah juga telah membeli hak paten buku dengan tujuan agar ketersediaan buku murah di sekolah dapat diwujudkan.

sumber:
Kamis, 28 Mei 2009 | 20:30 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Indira Permanasari S

 

LOWONGAN KERJA TV ONE 30 April 2009

Filed under: Uncategorized — paiting @ 5:15 AM

info ini saya dapat hari Selasa, April 28, 2009, 10:24 PM
Subject: Bls: [jip-unpad] LOWONGAN KERJA TV ONE
To: jip-unpad@yahoogrou ps.com

Dibutuhkan 2 Orang Library untuk di Library Programming TV One
Syarat-syaratnya:
1. Pria/wanita
2. Usia 22 – 26 tahun
3. S1 Perpustakaan
4. Menguasai Editing Cut To Cut
5. Siap Kerja di bawah tekanan dan Target
6. Siap Kerja Shiff
7. Kreatif
8. Bekerja Keras

Yang Berminat Segera Kirim Lamaran via pos ke:
TV One,
Jalan Rawa Teratai II No 2 Kawasan Industri Pulogadung
Jakarta Timur 13260 Indonesia
Telp 021 4613545

salam..

semoga bermanfat dan selamat mencoba